Ilustrasi |
Sekiranya memang perlu jabatan Wakil Kepala Daerah, sudah seharusnya jabatan tersebut diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Jika tidak, berarti jabatan itu memang tidak diperlukan, dan tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Di Negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, Gubernur sebagai pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), juga tidak memiliki wakil yang sama-sama dipilih dalam satu paket pemilihan. Jabatan wakil dipilih melalui pengangkatan (appointment) atas usulan kepala daerah terpilih.
Untuk itu jabatan Wakil Kepala Daerah yang dipilih dalam satu paket pemilihan umum sebagaimana yang tertuang dalam UU Plkada Pasal I angka 1 perubahan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 2015 yang berbunyi, “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis” adalah jabatan haram.
Secara litterlijk (norma yang tertulis) UU Pilkada jelas dan tegas berbeda dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang hanya berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Oleh karenanya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara berpasangan sesuai UU NOMOR 8 TAHUN 2015 jelas tidak mempunyai pijakan hukum yang mendasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU Pilkada secara jelas dan tegas telah bertentangan dengan UUD 1945 bahwa Wakil Kepala Daerah tidak diatur oleh konstitusi. Untuk menuju Indonesia yang lebih baik tentunya kita harus konsisten dalam bernegara dengan menjalankan amanat konstitusi.
0 komentar:
Posting Komentar