Selasa, 22 Maret 2016

Terbelahnya Islam di Masa Khalifah Rasyidah

Tidak dapat dipungkiri, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW umat Islam mengalami goncangan hebat dalam kancah pemerintahan. Pasalnya, Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan tahta dan sistem pemerintahan seperti apa yang harus dijalankan oleh umat Islam. Pengganti puncuk kepemimpinan pun tidak disebutkan, siapa yang akan mengantikan beliau nanti setelah beliau wafat. Sebenarnya, keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya merupakan usaha Rasulullah untuk mengenalkan konsep demokrasi, agar semua keputusan yang menyangkut umat diselesaikan dengan musyawarah.[1] Tetapi, bangsa Arab yang etnosentris, haus akan kekuasaan, menginginkan dari kelompok merekalah yang memipin umat Islam. Masa Khulafaur Rosyidin bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan.

Khulafaur Rasyidin

Sifat etnosentris dan haus kekuasaan menyebabkan perebutan dan saling klaim kekuasaan di kalangan umat Islam. Pemberontakan banyak terjadi. Perang saudara tak terelakkan. Tercatat dari periode khilafah rasyidah hanya 1 khalifah yang wafat karena sakit, lainnya wafat dalam keadaan dibunuh. Pada masa ini politik umat Islam sangatlah kental. Bahkan lahirnya aliran-aliran teologi Islam berawal dari masalah politik.[2] Tidak hanya itu, munculnya hadits-hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang muslim atau non-muslim karena didorong oleh motif politik.[3]

Benih-benih terbelahnya umat Islam mulai muncul di masa khalifah pertama Abu Bakar. Kelompok Syiah menentang terpilihnya Abu Bakar sebagai Khilafah, menurutnya kekhalifahan adalah warisan terhadap Ali dan kerabatnya, bukan kepada Abu Bakar. Perselisihan antara kaum Anshor dan Muhajirin dalam peristiwa tsaqibah bani sa’idah (perebutan pemimpin khalifah) juga turut mewarnai perpecahan intern umat Islam di masa pemerintahan Abu Bakar.

Setelah Abu Bakar Wafat, tampuk kekuasaan berpindah tangan ke Umar ibn Khattab. Umar ibn Khattab wafat ditikam oleh seorang pembunuh bayaran Abu Luluah. Pembunuhan tersebut dilakukan karena motif dendam terhadap bangsa Arab yang telah menaklukan bangsa Persia. Menurut Suaib alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa persia dalam dirinya. Sebelum wafat, Umar telah memilih 6 formatur yang berhak untuk menentukan khalifah pengganti Umar. 6 formatur yang dikenal dengan sebutan dewan ahlul halli wal aqdi tersebut akhirnya sepakat memilih Utsman ibn Affan sebagai khalifah pengganti Umar. [4]

Terpilihnya Utsman sebagai Khilafah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan umat Islam. Pangkal permasalahannya adalah persaingan kesukuan antara bani Umayyah pendukung Utsman dan bani Hasyim pendukung Ali. Konflik antara bani Hasyim dan bani Umayyah sudah terjadi semenjak pra islam, berawal dari konflik perebutan kabbah lalu berakhir dengan pengusiran Umayyah dari kota Mekkah selama 20 tahun. Menurut bani Hasyim pemilihan Khalifah Utsman banyak ditemui kecurangan, dan sebenarnya Ali lah yang lebih pantas menjabat sebagai Khalifah pengganti Umar. Keberhasilan Utsman karena peran 5 tokoh yaitu Umar ibn Khattab, Abdur Rahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam. Mereka semua masuk Islam secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar. Dengan demikian, apabila dewan itu dipetakan dapat ditemukan 2 kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Utsman dengan poros Ali. Kini pengikut Syiah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah merupakan taktik politik pro Utsman yang ingin agar Utsman menjadi Khalifah.[5] Konflik perpecahan umat Islam semakin meruncing di masa khalifah Utsman.

Nepotisme yang dilakukan oleh Utsman merupakan awal dari konflik perpecahan pada masa ini. Utsman bertindak sangat loyal kepada keluarganya bani Umayyah. Puncaknya, penduduk Mesir muak dengan perilaku kesewenangan gubernur Abdullah ibn Abi Sarah. Penduduk mesir mengusulkan gubernur diganti dengan Muhammad ibn Abu Bakar, tetapi Marwan ibn Hakam mengkhianati dan mengganti surat penyopotan dengan surat izin membunuh Muhammad ibn Abu Bakar. Massa mengamuk dan mengepung rumah Utsman menuntut pengunduran diri Utsman dan penyerahan Marwan. Pengepungan berakhir dengan terbunuhnya Utsman.[6] Bani umayyah menuntut agar pembunuh Utsman diusut tuntas. Sedangkan bani Hasyim pada waktu itu beramai-ramai membaiat Ali sebagai khalifah pengganti Utsman.

Pengangkatan ali sebagai khalifah ditentang oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah. Mu’awiyah beserta istri Nabi Aisyah, Thalhah dan Zubair menuntut agar Ali segera mengusut pembunuh Utsman. Namun Ali terkesan manarik ulur kasus tersebut. Akhirnya pecahlah perang jamal, perang pertama antara sesama umat Islam. Kebijaksanaan memecat beberapa pejabat tinggi juga menyebabkan dendam tersendiri di kalangan bani Umayyah. Ali mengirimkan pasukannya ke Damaskus untuk menertibkan pemberontakan Mu’awiyah. Maka pada bulan saffar 37 H meletuslah perang siffin antara Ali dengan Mu’awiyah. Perang ini diakhiri dengan abitrasi dari kedua belah pihak. Hasil perundingan tersebut adalah terpecahnya kekhalifahan Islam, Ali di timur dan Mu’awiyah di Barat. Kesepatan tersebut menyebabkan beberapa kelompok ali keluar dari barisan Ali. Kelompok ini disebut Khawarij, mereka berpendapat bahwa Mu’awiyah tidak berhak atas kepemimpinan umat Islam dan menganggap ali telah kafir karena mau melakukan abitarse. Akibat peristiwa ini umat Islam mulai terpecah menjadi 3 kekuatan politik, yaitu pengikut Ali (syiah) bani Hasyim, pengikut Mu’awiyah (sunni) bani Umayyah dan Khawarij.[7] Ali terbunuh oleh Abdur Rahman ibn Muljam dari golongan Khawarij. Maka dengan ini berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin.

Kesimpulan yang dapat dipetik adalah terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan adalah akibat dari rakusnya bangsa Arab atas kekuasaan. Umat Islam terbagi menjadi beberapa sekte hanya karena soal politik. Paham kesukuan yang menjangkiti orang Arab turut menambah daftar panjang peliknya perpecahan. Konflik panjang antara bani Hasyim dengan bani Umayyah juga merupakan pangkal dari benih pertikaian antar sesama umat Islam. Untuk itu, patutlah umat Islam era ini untuk bercermin dari sejarah masa lalu agar tidak kembali mengulang pertikaian atau menambah daftar nama kelompok umat Islam. Islam itu hanya satu, yaitu Islam yang berpedoman kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi. Tidak ada pembaruan dalam Islam. Apalagi Islam yang terakulturasi dengan ritul-ritul kesukuan.


Referensi

[1] Dr. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h. 35.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia, 1972), h. 6.
[3] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gunung Persada Press, 2008), h. 184.
[4] Achmad Syalalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1997), h. 267.
[5] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam (Jakarta: Mizan,1989), h. 119-120
[6] Hardi Darjoto, “Syiah: Sejarah Perpecahan Umat,” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari kompasiana.com/post/read/584776/2/syiah-sejarah-perpecahan-umat.html
[7] Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, h. 41.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com