Sabtu, 30 April 2016

Islam dan Demokrasi; Pengalaman Indonesia di Masa Orde Baru

Islam dan demokrasi di masa orde baru mempunyai sisi bipolar. Dilain pihak bersifat positif dilain lagi bersifat negatif. Tetapi kebanyakan bersifat negatif. Hal ini memang selalu terjadi didalam panggung demokrasi, khususnya di ranah politik. Dalam dunia politik tidak ada yang namanya benar dan salah, yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dan bagaimana cara mempertahankan. Harold D Laswell merumuskan politik sebagai who gets what, when and how. Kalau kita berbicara mengenai demokrasi pasti tidak akan jauh-jauh dari politik.

Agama dan Politik
Pada masa orde baru posisi Soeharto bisa dikatakan cukup dilematis, Antara ingin memberangus Islam agar tidak muncul ke panggung politik dan ingin mendapatkan dukungan dari kalangan agamis Islam. Upaya Soeharto memberangus Islam dari pangung politik ini bisa dilihat dengan 2 tahapan.

Tahapan pertama (1966-1976), sebagai tahap pengkondisian. Menurut Din Syamsuddin, respon umat Islam terhadap perubahan politik selama 10 tahun pertama OrBa (1966-1976) yang dalam hubungannya dengan agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam dengan negara Pancasila dan politik. Hal ini bisa dilihat pada sidang MPRS, antara tahun 1966-1967, umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden berasal dari kalangan agama Islam dan negara berdasarkan asas Islam, tetapi selalu ditolak.

Berikutnya pada tanggal 15 Februari 1968 Soeharto memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Terlihat sekali pada periode ini Soeharto berusaha mencundangi demokrasi umat Islam. 4 partai Islam difusikan menjadi satu partai yakni PPP. 4 partai tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.

Tahapan kedua (1976-1986), merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancasila sebagai asas. Pada tahun-tahun ini kebebasan berkumpul pun dibatasi dan setiap ingin menyelenggarakan kegiatan keagamaan harus mempunyai izin dahulu melalui sistem license. Dengan sistem license, seorang Muslim untuk bisa berdakwah atau berkhotbah di mesjid harus memiliki surat izin dari pemerintah dan surat izin itu bisa dicabut kembali bila yang bersangkutan melakukan pelanggaran, diantaranya adalah mengkritik keras pemerintah dan membakar emosi massa untuk melawan pemerintah.

Serangkaian tindakan dilakukan rezim Soeharto untuk membungkam aspirasi umat Islam, seperti kasus yang kemudian dikenal dengan kasus Tanjung Priuk 12 September 1984. Kasus ini berawal dari invesstigasi militer (AD) yang mengidentifikasi kawasan pelabuhan Tanjung Priuk sebagai basis Islam fundamantalis yang setiap waktu bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan OrBa. Pada kasus Tanjung Priok ini, beberapa masjid lokal diberangus dan sejumlah Muslim yang memprotes tindakan itu melalui sebuah demonstrasi damai malah ditembak dan dibunuh selama diadakannya operasi yang disebut dengan operasi keamanan di bawah komando Jenderal Benny Moerdani. Jumlah korban menurut hasil penelitian Ernst Utrecht, operasi Tanjung Priuk itu telah menyebabkan 63 orang yang tidak berdosa terbunuh dan lebih dari 100 orang lainnya terluka parah.

Akibat lainnya dari kebencian rezim OrBa adalah ditahannya beberapa figur pemimpin agama maupun politik dalam beberapa waktu, seperti Salim Qadar seorang da’i militan, A.M. Fatwa seorang tokoh Islam sekaligus sekretaris kelompok opisisi Petisi 50 dan Letnan Jenderal (Purnawirawan) H.R. Dharsono, mantan Sekretaris Jenderal ASEAN.

Kasus lainnya lagi yang melanggengkan hegemoni rezim Orba terhadap sendi-sendi masyarakat adalah dengan diadakannya operasi Penembakan Misterius (Petrus). Sekalipun kebijakan itu, menurut pengakuan pihak keamanan, ditujukan untuk memberantas kriminalitas, kenyataan membuktikan bahwa operasi itu ditujukan untuk mengeliminasi masyarakat yang dipandang oleh kelompok militer sebagai potensi ancaman bagi kepentingan kekuasaan Soeharto. Pada operasi Petrus itu tercatat bahwa hingga pertengahan 1980an, jumlah korban mencapai lebih dari 10.000 orang. Banyak diantara korban itu adalah para pemuda Muslim yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah. Oleh karena itu, Utrecht menyimpulkan bahwa Pembunuhan Misterius itu sebenarnya adalah pembunuhan politis umat Islam.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com