Selasa, 12 April 2016

Proses Transisi Presiden Soekarno

Proses perpindahan kekuasaan dari tampuk kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto memang banyak dijumpai kontroversi dan tumbal. Pasalnya, peristiwa transisi pemegang kekuasaan tersebut diwarnai dengan jatuhnya ratusan korban dan surat misteri yang tak jelas isinya. Ratusan korban berjatuhan mengiringi pergantian kepemimpinan tersebut. Diawali dengan konflik berdarah, penculikan beserta pembunuhan jenderal-jenderal yang dilakukan oleh cakrabirawa dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kini dikenal dengan G30S. Lalu dilanjutkan dengan pelarangan dan pembersihan anggota-angota PKI.



 
Mandat penyerahan kekuasaan yang dilakukan oleh Soekarno lewat surat perintah sebelas maret (SUPERSEMAR) pun tidak jelas isinya. Apakah supersemar merupakan penyerahan kekuasaan secara mutlak atau hanya surat perintah harian biasa, hal ini masih menjadi misteri sebab sampai sekarang surat asli supersemar hilang tak tahu kemana. Banyak dari para konspirator maupun pengamat mengatakan isi dari supersemar yang sekarang ini sudah tidak asli alias diubah. Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat. Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan supersemar maka dimulailah intrik-intrik politik Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai pangkopkamtib. Segala tindakan Soeharto dibenarkan bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.

Jika berbicara mengenai proses runtuhnya orde baru, maka layaknya dimulai dari peristiwa G30SPKI. Peristiwa yang menewaskan 6 perwira tinggi. Kejadian tersebut merupakan langkah dasar dari peristiwa proses transisi orde lama ke orde baru. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi yang mayatnya dibuang di lubang buaya Jakarta Timur. Tindakan itu dilakukan oleh cakrabirawa dan simpatisan PKI guna melindungi Soekarno dari serangan kudeta yang direncanakan oleh para dewan (Jenderal Angkatan Darat) di Jakarta yang telah korup dan menjadi kaki tangan Badan Intelegen Pusat Amerika Serikat (CIA). Tindakan penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi dikecam dan diprotes oleh massa. Akibatnya terjadi demonstrasi menuntut pembubaran PKI. Pada waktu itu kebutuhan pokok melambung tinggi, inflasi mencapai 600% hanya dalam waktu setahun karena barang-barang kebutuhan pokok (sembako) menghilang secara tiba-tiba, sehingga memaksa bank Indonesia mensanering nilai rupiah dari Rp.1.000,- menjadi Rp.1. Konstalasi tersebut mengakibatkan berbagai kekuatan politik untuk melakukan proses konsolidasi, antara lain kelompok mahasiswa sebagai presure group melakukan aksi moral dengan tuntutan TRITURA (tiga tuntutan rakyat), yaiut 1. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya 2. Perombakan kabinet DWIKORA 3. Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.

Setelah peristiwa G30S, situasi negara menjadi sangat genting. Demonstrasi besar-besaran terjadi dimana-mana menuntut TRITURA. Ditengah situasi genting tersebut lahirlah surat perintah sebelas maret, isi dari supersemar ialah memerintahkan Mayjen Soeharto, dengan atas nama Presiden/Penglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Penerbitan Surat Perintah tersebut secara jelas memberikan keleluasaan cukup besar kepada orang yang sudah diketahui Presiden sangat tidak bersahabat dengan PKI beserta orang-orang yang terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.[1]
   
Keluarnya supersemar sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Apakah supersemar hanya surat perintah biasa atau surat perpindahan kekuasaan. Apakah Soekarno mengeluarkan supersemar berdasarkan kemauannya atau atas desakan orang lain. Menurut Ricklef dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern menyebutkan bahwa Malam itu tiga jendral yang bertugas sebagai utusan Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Soekarno untuk menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban menjalankan pemerintahan dan melindungi presiden atas nama revolusi. Dari pernyataan tersebut jelas adanya permainan manuver halus antara Soekarno dan Soeharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno memberikan surat perintah yang bernama Supersemar kepada Soeharto untuk menjaga ketertiban. Namun yang dilakukan oleh Soeharto tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Soekarno. Soeharto malah membubarkan PKI dan membuat kebijakan-kebijakan yang baru sehingga posisi Soekarno terpojokan dan terjadinya perpindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.[2]

Surat Perintah tersebut dimanfaatkan Soeharto untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya serta menjadikannya sebagai partai terlarang. Atas tindakan kesewenangan Soeharto, Presiden Soekarno marah-marah dan menyatakan bahwa maksud Surat Perintah tersebut hanya dalam lingkup teknis militer dan bukan tindakan politis. Namun payung hukum yang kemudian dipergunakan untuk menertibkan tindakan Mayjen Soeharto, berupa Penetapan Presiden (tanggal 13 Maret 1966) yang isinya memerintahkan Mayjen Soeharto untuk kembali kepada Pelaksanaan Surat Perintah Presiden dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis. Penpres tersebut secara mudah dapat dipahami tidak memiliki implikasi hukum sama sekali untuk menghapus tindakan Mayjen Soeharto membubarkan PKI. Terkecuali jika melalui surat perintah yang sama, Presiden menyatakan mencabut keputusan pemegang mandat membubarkan PKI dan menyatakan membatalkan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya. Tindakan Mayjen Soeharto bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.

Pidato Soekarno tentang penangungjawaban atas peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan NAWAKSARA ditolak oleh sidang mprs dengan surat presiden no. 01/pres./'67 tanggal 10 januari 1967. Selanjutnya pada tanggal 23 februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967. Tidak lama setelah penyerahan kekuasaan, pada tanggal 7-12 Maret 1967, MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta. Dalam sidang tersebut, MPRS dengan ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967 memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Selain itu, MPRS juga menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara. Melalui ketetatapan ini pula MPRS mengangkat pengemban ketetapan MPRS No. IX tahun 1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu. Pada tanggal 12 maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, secara legal formal telah berakhir kekuasaan orde lama yang kemudian digantikan dengan orde baru.[3]

Referensi
[1] Admin,  “Kedekatan Presiden Soekarno-Presiden Soeharto (Antara Tudingan dan Realitas),” artikel diakses pada tanggal 15 Mei 2015 dari http://soeharto.co/kedekatan-presiden-soekarno-presiden-soeharto
[2] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h. 598.
[3] Admin, “Saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno,” artikel diakses pada tanggal 15 Mei 2015 dari http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm


0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com