Rabu, 12 Oktober 2016

Relasi Agama dan Negara di Indonesia

Relasi antara agama dan negara pada umumnya memiliki 3 kecendurangan. Pertama, negara berdasar agama, pada negara ini terjadi persatuan antara pemegang otoritas negara dan agama. Negara dan pemegang otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.

Lambang Negara Indonesia
Kedua, agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi spirit penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya.

Ketiga, negara sekuler, pada negara model ini terdapat pemisahan otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.[1]

Dalam pandangan penulis, Indonesia saat ini cenderung berada pada model kedua, yaitu agama sebagai spirit bernegara. Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar kepada prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada warganya. Hal tersebut sesuai dengan spirit piagam Madinah yang diajarkan oleh Rosulullah SAW.

Jaminan kebebasan beragama membuat Indonesia memiliki keberagaman agama. Setidaknya ada 6 agama resmi di Indonesia. Kebebasan tersebut juga mengakibatkan penafsiran dalam agama berbede-beda dalam setiap wilayah di Indonesia. Misalnya, praktek keagamaan Islam di wilayah Aceh berbeda dengan praktek keagamaan di Ambon. Praktek keagamaan yang dimaksud disini bukanlah praktek keagamaan yang bersifat substansial, seperti sholat, puasa, zakat. Tetapi praktek keagamaan yang bersifat sunnah, seperti dzikir, perayaan hari besar agama Islam, tata cara pernikahan, dll. Hal ini disebabkan adat yang berbeda-beda dalam setiap wilayah.

Bisa dilihat, bahwa agama Islam di Indonesia mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Telah terjadi proses Pribumisasi Islam (meminjam terminologi Gus Dur). Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama. Adat dan budaya telah bercampur dengan syari’at agama Islam yang sangat sukar untuk dipisahkan antara satu sama lain, dan ia berjalan seiring tanpa pembatas yang jelas sebagaimana yang diharapkan.[2]

Islam adalah agama yang universal, sempurna, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilaf ulama dalam memahami ajaran agamanya.[3] Selain itu Islam memiliki nilai universalisme Islam, yaitu risalah Islam yang ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat dimuka bumi ini. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih.

Untuk itu Islam yang cocok diterapkan di Indonesia adalah Islam yang toleran dalam perbedaan keyakinan dan mampu menyokong tradisi-tradisi lokal untuk tumbuh bersinergi dengan budaya-budaya Islam. Asalkan tradisi-tradisi lokal tersebut tidak meyalahi dan bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
   
Daftar Pustaka
[1] Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di Indonesia (T.tp.: Jurnal Rechtsvinding, t.t.), h. 2.
[2] Alfian, Segi-Segi Kebudayaan Aceh (Jakarta: LP3ES, 1978), h. 38.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com