Minggu, 09 Oktober 2016

Selayang Pandang Masuknya Islam ke Nusantara

Berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara[1] sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Menurut Didin Saepudin, kontroversi tersebut bisa jadi karena masuknya Islam ke Nusantara menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak sulit untuk disimpulkan.[2]

Peta Nusantara
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara oleh MC. Rikclefs disebut sebagai suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Nusantara, namun juga yang paling tidak jelas. Ricklefs berpendapat bahwa kepastian sejarah tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang Islamisasi di Nusantara sangat langka dan sering sangat tidak informatif.[3] Rekonstruksi sejarah yang valid tentang masuknya Islam susah dilakukan karena kurangnya data.

Walaupun begitu, Ricklefs membagi dua proses yang memungkinkan mengenai penyebaran agama Islam di Nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang Asing (Arab, India, Cina dll.) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu  wilayah Nusantara, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka melebur menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya.[4]

Dilihat dari segi kedatangan Islam, ada tiga teori besar mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam bukunya Jaringan Ulama. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd (1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab.

Sedangkan  Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir sebagai Sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya mengatakan orang-orang Arab tanpa menunjuk asal tempatnya.[5]

Sedangkan Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini diantaranya adalah Buya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan bahwa aspek-aspek atau karakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan aspek-aspek eksternal. Al–Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang di identifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau setidaknya Persia.[6]

Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak Abad Ke-7 dan berasal dari Arabia. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa pada Abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di kanton (Cina) dan Fo-lo-an (daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab.[7]

Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dari India. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Ia menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara di sebarkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, Nusantara menerima Islam dari India.

Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukan secara menyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Namun Pijnapel mengemukakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnapel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara di sebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India.[8]

Pendukung lain dari teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal disana sebagai pedagang, perantara dalam perdagangan timur tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah kata Hurgronje datang ke dunia Melayu – Indonesia sebagai penyebar Islam pertama.

Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya.[9] Mengenai waktu kedatangannya, Hourgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang yang di pandang sebagi tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara.[10]

Dukungan yang cukup Argumentatif atas teori India di sampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia dengan jelas menyebutkan bahwa Gujarat sebagai negeri asal Islam masuk ke Nusantara. Pendapatnya di dasarkan pada argument bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara – Camabay (Gujarat) – Timur Tengah – Eropa.

Argumentasi ini di perkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang di perbandingkan dengan nisan-nisan makam di Wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (pasai), Al–Malik al-Saleh menurut pengamatan Stutterheim bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.[11]

Teori yang di kemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda. Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur.

Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Camabay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut menyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia menurutnya berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini di kenal dengan teori batu nisan.[12]

Ketiga, teori yang menyatakan bahawa Islam datang dari Benggali (Kini Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh S.Q Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan demikian. Tome pires berpendapat bahwa kebanyakan orang-orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini dikembangkan oleh Fatimi bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Melayu yakni dari arah timur pantai bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini di buktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M di Leran Gresik.

Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette. Fatimi menentang keras pendapat itu, menurutnya bahwa menghubung-hubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya Fatimi menyatakan bentuk dan gaya batu nisan Al-Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti di datangkan dari Benggal bukan dari Gujarat.

Analisis ini di pergunakan Fatimi untuk membangun teorinya. Tetapi terdapat kelemahan pada pendapat Fatimi, bahwa Mazhab Fiqih yang dianut Muslim Nusantara (Mazhab Syafi’i) berbeda dengan Mazhab yang dianut Muslim Gujarat (Mazhab Hanafi). Perbedaan mazhab Fiqih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.[13]

Ada satu lagi teori yang menjelaskan asal muasal kedatangan Islam ke Nusantara, yaitu teori Cina. Ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A. Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat bahwa perkiraan Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara.

Prof. Hembing Wijayakusama menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan, dan pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Cheng-Ho juga lanjut Hembing, memiliki peran besar dalam membentuk masyarakat Muslim Tionghoa dan membangun hubungan diplomatik dan persahabatan antara negara Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya.[14]

Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara berasal dari Cina. Hubungan antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam, sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara.

Riwayat perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuzza (Sriwijaya) telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera. Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara.[15]

Setelah mengetahui berbagai teori masuknya Islam ke Nusantara, selanjutnya akan diuraikan berbagai teori tentang siapakah yang membawa Islam ke Nusantara. Persoalan pembawa Islam ke Nusantara setidaknya dapat dijelaskan melalui dua teori. Pertama, adalah teori yang menekankan para pedagang. Keberadaan mereka yang telah melembagakan diri di berbagai wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa penguasa lokal, dan telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan dagang para penguasa pesisir, itu semua menjadi petunjuk adanya Islamisasi di wilayah Nusantara.

Mereka tidak hanya berdagang dan bersosialisasi tetapi juga terlibat dalam penyebaran Islam. Teori ini sangat berkaitan dengan teori pertama kedatangan Islam yang menyatakan bahwa Islam telah hadir di wilayah Nusantara sejak abad ke-7. kenyataan bahwa kontak dagang wilayah Nusantara dengan Timur tengah telah terjadi sejak sebelum abad ke-7, sehingga memungkinkan wilayah ini disinggahi pula oleh para pedagang Arab yang telah memeluk Islam pada atau setelah abad ke-7.[16]

Kedua, adalah teori yang menjelaskan peran para Da’i atau kaum Sufi, atau yang disebut oleh sebagian Orientalis sebagai kaum Misionari. Kedatangan para Sufi bukan hanya sebagai Guru, tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Teori ini sangat tepat apabila diletakkan pada konteks perkembangan Islam di Nusantara, setidaknya sejak abad ke–11, mengingat persebaran Sufisme ke luar wilayah utama dunia Islam (Timur-Tengah).[17] 

Azyumardi Azra mengutip pendapat A.H.Johns, menyatakan bahwa para Sufi pengembara adalah kelompok yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya terjadi sejak abad ke-13 M. Faktor utama keberhasilan perpindahan agama penduduk kepada Islam adalah kemampuan kaum Sufi yang menyajikan Islam dalam kemasan atraktif dan menarik, khususnya dengan menekankan beberapa kesamaan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal dengan Islam, ketimbang perubahannya.[18]

Beberapa teori tentang proses masuknya Islam, pembawa Islam dan perkembangan Islam di Nusantara telah dipaparkan di atas. Selanjutnya masuk ke dalam ranah manakah yang paling benar dari beberapa teori tersebut. Menurut hemat penulis sangat sulit menentukan manakah teori yang paling benar. Sebabnya sampai sekarang pun perdebatan tak kunjung usai dari para ahli sejarah. Tetapi, jika penulis boleh berpendapat, teori arab lah yang paling mendekati kebenaran sedangkan dari segi pembawa agama Islam adalah teori pedagang.

Pendapat subyektif penulis didasarkan pada pertimbangan tentang fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina dan argumen Arnold bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumantera. Sebagian mereka melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota Komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.[19]

Selain itu mazhab yang dianut Indonesia sama dengan mazhab yang ada di Arab tepatnya di Mesir. Menurut Al-Attas seluruh literatur Islam tidak pernah mencatat satupun penulis dari India, Bengal dan Cina. Pengarang-pengarang  yang dianggap oleh Barat sebagai penulis buku masuknya Islam di Nusantara ternyata berasal dari Arab. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab.

Lebih lanjut Hamka menekankan bahwa Islam datang ke Nusantara lansung dari Arab, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, Mekah adalah pusat Islam, dan Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Pendangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur dan Al-Attas yang menekankan pentingnya peranan Arab, bahkan menurut mereka teori yang lain pun sebenarnya tidak sepenuhnya menolak peranan Arab.[20]

Teori Arab ini mematahkan pandangan sarjana Barat yang berpendapat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia sudah tidak murni lagi. Ibarat kata, Islam yang sampai di Indonesia seperti sungai-sungai yang mengalir dari Timur Tengah ke penjuru dunia. Saat sungai-sungai tersebut mengalir ke Indonesia melalui India, airnya sudah menjadi keruh, maka ajaran Islam yang masuk di Indonesia itu menjadi bercampur dengan budaya India (Hindu-Budha).[21] Menurut hemat penulis, secara formal Islam masuk di Indonesia dari arab, ajarannya masih murni dan disebarkan secara penetration pacifique (damai) melalui metode da’wah bi al-hal. Setelah proses ini, terjadilah akulturasi Islam dengan budaya setempat.


   
Daftar Pustaka
[1] Istilah Nusantara diperkenalkan oleh Eugene Douwes Dekker yang biasa dikenal sebagai Dr. Setiabudi. Istilah itu diambil dari naskah kuno majapahit yaitu Paraton yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19. Nusantara yang diperkenalkan Eugene mempunyai arti nusa di antara dua benua dan dua samudra lihat kompasiana.com/raden_rahmat_wijaya/asal-usul-nama-indonesia.
[2] Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Jurnal Mimbar Agama dan Budaya: UIN Jakarta Vol.23 No. 3, 2006). h. 225.
[3] MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 2005), h. 3.
[4] Ibid., h. 4.
[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII (Bandung: Mizan, 1994), h. 31.
[6] Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1997), h. 54.
[7] Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Depdikbud, 1975), h. 110-112.
[8] Alwi bin Thahrir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (Jakarta: Lentera, 2001), h. 83.
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, h. 40.
[10] Ibid.,
[11] Ibid., h. 25.
[12] Ibid.,
[13] Ibid., h. 32.
[14] Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta : Pustaka Popular Obor, 2005), h. 32.
[15] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 67.
[16] Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 85-86.
[17] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 25.
[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, h. 32-33.
[19] Hilmy Bakar, “Kerajaan Islam Pertama di Nusantara,” artikel diakses pada 22 Juni 2015 dari http://kerajaanatjeh.blogspot.com/2009/01/kerajaan-atjeh-pertama-kerajaan-islam.html?m=1
[20] Ibid.,
[21]  Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, Risalah Seminar: Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia (Medan: T.pn.,1963), h, 76.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com